Kamis, 16 Februari 2017

DEMI UNDANG-UNDANG SEGERA NONAKTIFKAN AHOK

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kembali aktif dalam jabatannya setelah cuti selama 3,5 bulan. Ahok cuti terkait dengan statusnya sebagai peserta pilkada DKI 2017 sejak 28 Oktober 2016 dan berakhir pada 11 februari 2017. Dalam Undang-Undang nomor 10 Tahun 2016 disebutkan bahwa Kepala Daerah yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama selama masa kampanye harus menjalani cuti diluar tanggungan negara. Akan tetapi pengaktifan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI dipersoalkan berbagai pihak karena terkait dengan kasus penistaan agama yang sedang menjerat dirinya. Perlu diketahui perkara penistaan agama ini didaftarkan sejak tanggal 1 Desember 2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan nomor perkara 1537/Pid.B/2016/PN JKT.UTR dan dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum, Ahok didakwa dengan dakwaan alternatif yaitu melanggar Pasal 156 a huruf a KUHP dan Pasal 156 KUHP.

Yang menjadi persoalan berdasarkan Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi ‘kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia’, Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta harus segera diberhentikan sementara. Dalam Pasal tersebut, kriteria pemberhentian sementara seorang Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah jika: 1. menjadi terdakwa dengan ancaman pidana paling singkat 5 (lima) tahun; 2. melakukan tindak pidana korupsi; 3. melakukan tindak pidana terorisme; 4. melakukan tindak pidana makar; 4. Melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara; dan/atau perbuatan yang dapat memecah belah NKRI.
Jika merujuk bunyi Pasal tersebut maka seharusnya tidak alasan lagi untuk tidak menonaktifkan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Hal ini dikarenakan dalam salah satu dakwaan jaksa penuntut umum, yaitu Pasal 156 a huruf a KUHP ancaman hukumannya paling lama 5 (lima) tahun.

Permasalahan berlanjut pada jenis dakwaan yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum yang menggunakan dakwaan alternatif pada kasus penistaan agama tersebut.  Beberapa pihak menilai penggunaan dakwaan alternatif menimbulkan ketidakpastian dalam menafsirkan Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Daerah tersebut, karena dalam Pasal tersebut tidak dirinci apakah dakwaan alternatif dapat digunakan sebagai dasar pemberhentian sementara, ditambah lagi salah satu dakwaan yaitu Pasal 156 KUHP ancaman hukumannya paling lama 4 (empat) tahun.

Permasalahan ini terbantahkan mengingat dalam penjelasan Pasal 83 UU Nomor 23 Tahun 2014 disebut ‘cukup jelas’ yang berarti tidak ada pembedaan jenis dakwaan yang dimaksud dalam Pasal 83 tersebut. Lagi pula dalam melakukan penafsiran norma dalam peraturan perundang-undangan pertama kali selalu dilakukan adalah penafsiran gramatikal[1] (tata bahasa). Dalam hal ini dakwaan yang dimaksud adalah keseluruhan jenis dakwaan tanpa membedakan apakah dakwaan tunggal, alternatif, subsidair, kumulatif maupun kombinasi. Sehingga meskipun jaksa penuntut umum menggunakan dakwaan alternatif, salah satu Pasal yang didakwakan sudah memenuhi syarat pemberhentian sementara Ahok sebagai Gubernur DKI karena memuat ancaman hukuman paling lama 5 (lima) tahun. Bentuk dakwaan alternatif mungkin digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum apabila terdapat keraguan atas tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Namun sekali lagi Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tidak berbicara soal berapa lama putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim setelah pemeriksaan di sidang pengadilan akan tetapi semata-mata hanya terkait dengan ancaman pidana yang didakwakan JPU. Apabila salah satu dakwaannya memenuhi syarat Pasal 83 ayat (1) maka Presiden harus segera memberhentikan sementara Ahok sebagai Gubernur DKI.

Hal lain yang masih menjadi perdebatan dan dipermasalahkan oleh beberapa pakar adalah penggunaan frasa paling singkat dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014. Frasa “paling singkat”  ini diperdebatkan dengan frasa selama-lamanya atau dalam bahasa perancangan peraturan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan digunakan frasa “paling lama” dalam salah satu dakwaan Jaksa Penuntut Umum Pasal 156 a huruf a. Seorang pakar hukum tata negara mencoba menarik penafsiran kedua frasa paling singkat dan selama-lamanya (paling lama) tersebut pada jenis kejahatan berdasarkan berat ringannya. Menurutnya frasa paling singkat 5 (lima) tahun dalam Pasal 83 ayat (1) berarti tindak pidana yang dimaksud disini adalah tindak pidana berat karena minimal 5 tahun sedangkan penggunaan frasa selama-lamanya 5 (lima) tahun dalam Pasal 156 a huruf a KUHP berarti tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana ringan. Sehingga menurutnya syarat pemberhentian sementara Ahok dalam Pasal 83 ayat (1) tidak terpenuhi.

Menurut saya hal tersebut merupakan kekeliruan karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam lampiran II butir 255 dan 256 disebutkan bahwa penggunaan frasa paling singkat dan paling lama hanya merupakan pilihan kata atau istilah untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum dalam menentukan ancaman pidana atau bagi batasan waktu dan satuan jangka waktu. Dalam konteks Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 156 a KUHP sama sekali tidak terkait dengan jenis tindak pidana berdasarkan berat ringannya. Jadi dengan adanya frasa paling singkat dalam Pasal 83 ayat (1) berarti Kepala daerah dan/atau Wakil kepala daerah diberhentikan sementara apabila didakwa dengan pidana penjara 5 (lima) tahun keatas. Dan oleh karena pada kasus penistaan agama yang menjerat Ahok salah satu Pasal dakwaannya Ia didakwa dengan tindak pidana yang ancaman pidana maksimal 5 (lima) tahun maka sudah memenuhi syarat dilakukannya pemberhentian sementara sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Untuk itu demi Undang-Undang berdasarkan Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia harus segera memberhentikan sementara Basuki Tjahaya Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta.



[1] Penafsiran gramatikal yaitu cara penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain.
Sumber Gambar: http://lbhmawarsaron.or.id/home/wp-content/uploads/2015/10/definisi-ilmu-hukum.jpg

Selasa, 16 Agustus 2016

Bismillah...,dia "Maria"

... وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ  ﴿آل عمران:٣٦﴾
... sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk”

Alhamdulillah, sudah dua bulan terakhir ini rumahku diramaikan dengan tangisan bayi kecilku Maria. Yap, saya memberi nama anak pertamaku dengan nama MARIA, lengkapnya Maria Iftitah Althafunnisa. “Kenapa Maria?” Itu menjadi pertanyaan banyak orang ketika kuperkenalkan namanya. Saya terkadang balik bertanya “Kenapa Kalau Maria?”. Tidak terkecuali ke empat orang tua kami yang mempertanyakan kenapa kami memilih nama Maria untuk putri kecil kami yang menurut mereka dengan latar belakang keluarga Muslim menjadi aneh ketika nama itu menjadi pilihan.

Nama “Maria” sebenarnya adalah pilihan Istriku (meskipun saya awalnya memilih nama Maryam) sejak kami mengetahui jenis kelamin anak kami perempuan melalui pemeriksaan USG. Begitu istriku menyebut nama Maria saya tidak pernah menolaknya sedikitpun. Kenapa? Karena, karena  menurutku nama Maria merujuk pada sosok yang sama dengan nama Maryam yaitu seorang perempuan suci yang shaleh putri dari Imran dan ibu dari Nabiullah Isa Alaihissalam. Saya percaya bahwa Maria dan Maryam adalah sosok yang sama sebagaimana Ibrahim dan Abraham, Daud dan David, Musa dan Moses. Adapun perbedaan pelafalan namanya menurut saya hanya masalah perbedaan lisan kita sebagai akibat perbedaan bahasa. Dalam bahasa Arab dituliskan مَرْيَمَ, kita di indonesia kadang menuliskan dan melafalkan Mariam kadang Maryam, lalu bahasa ibrani dan inggris biasa menuliskan dan melafalkannya dengan Maria. Hal ini juga terjadi perbedaan dalam penulisan dan pelafalandalam bahasa arab, yang dalam beberapa bahasa ada yang menuliskan dan melafalkannya dengan “Muhammad”, “Mohammad”, dan “Mohammed”. Kesemuanya merujuk pada satu sosok yang sama.

Seorang teman pernah berkata kenapa tidak memberi nama berbahasa arab atau setidak-tidaknya memberi nama dengan kata yang ada dalam Al Qur’anul Kariim. Saya katakan apakah nama selain nama kearab-araban itu jelek bahkan rendah dibanding nama berbahasa arab? Atau apakah nama Lucy lebih rendah dibanding Nur meski keduanya berarti sama yaitu cahaya? Apakah orang yang shalat menggunakan celana jeans shalatnya tidak diterima sebagaimana orang shalat menggunakan jubah? Ataukah orang yang berdoa menggunakan sorban doanya lebih diterima dari orang yang menggunakan kopiah atau Topi Pet? Arab dan kearab-araban itu tidak melulu Islam dan Islam itu tidak hanya Arab. Islam itu rahmat bagi seluruh alam, sebagaimana makna lafal Hamdalah “Alhamdulillahi Rabbil Aalamin”. Allah sang Rabbul Jaliil Tuhan seluruh alam, bukan hanya Tuhan bangsa arab. Dalam salah satu hadis riwayat Abu Dawud, Rasulullah Salallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda, "Pada Hari Kiamat kelak kalian akan dipanggil dengan nama kalian berikut nama ayah-ayah kalian. Karena itu berilah nama-nama yang baik". Terkait dengan pemberian nama, tuntunan Rasulullah berilah nama yang baik (titik) bukan nama kearab-araban.

Untuk itu sudah seharusnya beragama itu menggunakan nalar kritis sebagai pendamping wahyu yang diturunkan-Nya supaya kita bisa membedakan mana subtansi ajaran yang dibawa rasul-Nya dan mana yang hanya berfungsi sebagai simbol serta kemasan bahasa saja. dan Bukankah dalam Surah Al Hujurat : 13 Allah menegaskan bahwa kemuliaan seseorang manusia hanya ditentukan oleh kadar taqwanya tanpa ada kaitan dengan perbedaan suku bangsa ataupun bahasanya. 



Minggu, 29 Mei 2016

Perppu Kebiri yang Harus Segera Dikebiri


Meningkatnya jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak menjadi fenomena tersendiri dan menyedot perhatian masyarakat. Kasus kekerasan seksual pun semakin kompleks mulai dari faktor penyebab, pelaku hingga akibat yang ditimbulkan bagi korban. Data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat peningkatan yang cukup signifikan terhadap kejahatan seksual yang terjadi di Indonesia. Data catatan tahunan 2016 Komnas Perempuan, kekerasan seksual yang terjadi di Ranah Personal, dari jumlah kasus sebesar 321.752, maka kekerasan seksual menempati peringkat dua.
Kasus terbaru dengan korban seorang perempuan buruh pabrik di Tangerang yang berusia 18 Tahun yang ditemukan di dalam kamar kos dalam keadaan tanpa busana dengan gagang cangkul tertancap di kemaluannya. Sebelumnya terjadi kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap seorang siswi SMP di Bengkulu setelah diperkosa oleh 14 orang dan tujuh dari mereka anak dibawah umur.
Kemarin, rabu 25 Mei 2016 Presiden telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam pertimbangannya pemerintah memandang bahwa kekerasan seksual terhadap anak semakin meningkat secara signifikan yang mengancam dan membahayakan jiwa anak, merusak kehidupan pribadi dan tumbuh kembang anak, serta mengganggu rasa kenyamanan, ketenteraman, keamanan, dan ketertiban masyarakat. Pemerintah juga memandang sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak belum memberikan efek jera dan belum mampu mencegah secara komprehensif terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 ini mengubah dua pasal dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yakni Pasal 81 dan Pasal 82 serta menambah dua pasal yakni Pasal 81A dan Pasal 82A. Pada intinya Perppu ini memuat sanksi pidana dengan memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara. Perppu ini juga mengatur tiga sanksi tambahan, yakni kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik.
Terkait dengan isi Perppu Nomor 1 Tahun 2016, apakah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang boleh memuat ketentuan pidana seperti halnya Undang-Undang? Untuk menjawabnya kita harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam Pasal 7 mengenai jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang memiliki kedudukan yang sejajar/sederajat dengan Undang-Undang. Kemudian jika melihat bunyi Pasal 11 yang menyebutkan Materi Muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang. Akan tetapi dalam pasal sebelumnya yakni Pasal 10 dijelaskan materi muatan Undang-Undang berisi: pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; pengesahan perjanjian internasional tertentu; Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Artinya, materi muatan Perppu dikunci hanya memuat materi muatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
Mengenai boleh tidaknya Perppu memuat materi muatan mengenai Ketentuan Pidana, berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 disebutkan materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang; Peraturan Daerah Provinsi; atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Artinya peraturan perundang-undangan yang lain selain ketiga jenis peraturan perundang-undangan tersebut tidak boleh memuat ketentuan pidana.
Alih-alih memberikan solusi terkait penanganan kasus kejahatan seksual, pemerintah malah menerbitkan Perppu yang kontraproduktif karena memuat ketentuan pidana. Terbitnya Perppu nomor 1 Tahun 2016 justru menunjukkan sikap pemerintah yang terlalu reaktif dan terburu-buru dalam penanganan kasus kejahatan seksual yang semestinya dilakukan secara sistematis dan terencana. Penerbitan Perppu seakan-akan hanya ingin memenuhi tuntutan publik dan media tanpa mempertimbangkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Pilihan pemerintah untuk memasukkan hukuman pidana tambahan terhadap pelaku kejahatan seksual dalam Perppu terkesan hanya didasarkan pada jangka waktu pemberlakuannya yang cepat tanpa mempertimbangkan prinsip demokrasi dalam pembentukannya. Seharusnya jika melihat rumusan Pasal 15 ayat (1) diatas, untuk merumuskan ketentuan pidana yang isinya merupakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau norma perintah yang merupakan pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia harus dibahas bersama wakil rakyat dalam hal ini DPR. Hal ini pulalah yang menjadi pertimbangan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota juga dapat memuat ketentuan pidana. Karena kedua peraturan perundang-undangan tersebut juga dibahas bersama wakil rakyat dalam hal ini DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Meskipun untuk Peraturan daerah ada batasan ketentuan pidana hanya dapat memuat pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Untuk itu seharusnya ketentuan pidana tidak dapat dimuat dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang sebagaimana Perppu Nomor 1 Tahun 2016 yang memuat pidana tambahan terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak karena penyusunan dan pembahasan Perppu hanya dilakukan oleh pemerintah secara sepihak tanpa melibatkan wakil rakyat/DPR. Sehingga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak harus segera dicabut karena melanggar asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, salah satunya asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.
Langkah yang dapat kita lakukan saat ini yaitu dengan memaksimalkan hukuman yang sudah berlaku saat ini dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak atau mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Bahwa kita sepakat kasus kejahatan seksual terhadap anak semakin memprihatinkan dan karenanya bisa dikategorikan kejahatan luar biasa, bahwa pelaku kejahatan seksual harus dihukum dengan seberat-beratnya, namun penanggulangannya harus dilakukan dengan cara yang tepat, dengan pertimbangan hukum dan jenis peraturan perundang-undangan yang tepat serta memperhatikan nilai-nilai Hak Asasi Manusia.

*Sumber Gambar: http://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/aksi-kampanye-menentang-kejahatan-seksual-terhadap-perempuan-_130129122014-775.jpg

Minggu, 29 Desember 2013

Run..Run..Run



……
Ready ready ready, ready to run
all I'm ready to do is have some fun
What's all this talk about love?
I'm ready to run?
I'm ready, oh, I'm ready to run, I'm ready to run?


Beberapa jam sebelum event lomba lari 10k yang diadakan oleh Pertamina Makassar dimulai, potongan potongan lagu Ready to Run itu terus terngiang-ngiang ditelingaku dengan tanda Tanya di akhir setiap baitnya. Wajar saja dengan latihan dan persiapan seadanya yang sering terganggu dengan hujan yang akhir-akhir ini sering turun dipenghujung sore di kota Makassar cukup membuat saya sedikit ragu apa saya mampu menyentuh garis finish. Dari sekitar delapan kali latihan lari, jarak yang sanggup saya tempuh tak pernah lebih dari 6 kilometer.
Dan yap, sekitar pukul 05.15 wita saya telah berdiri di belakang garis start bersama ribuan pelari dengan berbagai latar belakang profesi. Terselip diantara pelari kasta terbawah yang hanya menjadikan lari sebagai pengisi waktu dan pembakar lemak di pagi dan sore hari sampai Prajurit TNI dan Polri, atlit nasional, dan pelari tingkat dewa sekelas pelari Kenya yang tak pernah absen dalam setiap event lari tentunya. Walaupun Ini event lari kedua saya setelah mengikuti Kalla Run 1 Desember lalu namun ini event lari pertama saya pada kelas 10 kilometer. Kalau dalam novel “5 cm” ada beberapa kata-kata sakti penyemangat Genta dan kawan-kawannya mendaki ke mahameru maka dengan sedikit modifikasi dan menjiplak kata-kata itu maka dalam event lari ini keyakinanku tergantung sedikit lebih jauh 10 kilometer kedepan sampai ke garis finish. Dan yang saya perlukan cuma kaki yang berlari lebih jauh dari biasanya, mata yang akan menatap kedepan lebih jauh dari biasanya, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, dan jantung yang akan memompa lebih cepat dari biasanya. Serta mulut yang akan selalu berdoa semoga saya tak pingsan di tengah lintasan ini. Semoga..
Dan tepat pukul 05.30 wita seluruh peserta berhamburan kedepan, melesat meninggalkan garis start. Satu hal dalam lari jarak jauh sebenarnya kita tak hanya berkompetisi dengan para pelari lainnya untuk lebih dulu mencapai garis finish. Lebih dari itu bagaimana kita mampu mengendalikan emosi dan pikiran mengatur ritme langkah dan nafas untuk tetap bertahan sampai lintasan ini berakhir. Sepuluh sampai lima belas menit pertama  berlari adalah saat yang sangat penting untuk tetap mengatur irama langkah dan menahan diri agar tidak terprovokasi dengan irama langkah pelari lain yang mendahului. Seperti dalam kehidupan katanya konsistensi sangat diperlukan dalam menciptakan kebiasaan untuk mencapai tujuan-tujuan hidup. Maka apapun yang ingin kita capai maka buatlah tujuan itu menjadi bagian dari kehidupanmu.
Memasuki kilometer ke tiga, beberapa pelari didepanku mulai memperlambat langkahnya. Sempat terlintas menambah kecepatan untuk mendahului namun sekali lagi tetap konsisten mengatur nafas jauh lebih utama. Dalam event lari kali ini, pihak penyelenggara menyediakan water station setiap 3 kilometer untuk para pelari yang ingin minum mengganti cairan tubuh yang hilang. Air isotonic dan teriakan semangat yang diberikan penyelenggara di water station ini cukup membantu para pelari. Ya, saat mengikuti event lomba lari seperti ini seseorang tidak benar-benar berlari sendirian. Beberapa orang baik yang berada di lintasan atau diluar lintasan punya peran dalam membangkitkan semangat kita. Seperti dalam hidup kita tidak mungkin dapat hidup sendiri selalu ada orang-orang seperti keluarga, teman dan sahabat yang selalu mengingatkan dan menjadi penyemangat untuk tetap kuat menjalaninya.
Sampai pada kilometer ke tujuh, adalah saat-saat dimana tenaga di dalam tubuh sudah hampir habis, kepala terasa ringan, penglihatan berkunang-kunang dan kecepatan langkah berkurang drastis. Ditambah beberapa pelari yang kemudian mendahului turut menekan mental saya yang semakin terpuruk. Ya, mungkin karena waktu latihan yang kurang atau pengaruh begadang semalam. Kilometer tujuh sampai delapan adalah saat-saat sulit bagi saya saat itu.  Sempat terpikir untuk menyerah dan berhenti ditengah-tengah lintasan seperti beberapa pelari lainnya yang kehabisan tenaga namun kembali beberapa lagu dalam playlist yang kuputar saat itu mengalun ikut memompa semangatku. Berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa keyakinan yang kugantung 10 kilometer dari garis finish tadi, kurang dari 3 kilometer lagi.
Dalam hidup, kebanyakan orang ketika menghadapi kesulitan mereka lantas menyerah, putus asa dan kemudian berhenti. Kata beberapa motivator orang-orang yang benar-benar sukses adalah mereka yang tidak mudah putus asa dan ketika hal-hal menjadi sulit mereka hanya terus maju kedepan. Karena kekuatan seseorang, kata mereka berasal dari dalam kepala kita masing-masing. Ya, saat itu saya sepakat dengan mereka, ini tentang bagaimana memutuskan untuk melanjutkan terus berlari menyelesaikan apa yang sudah dimulai dan tentu saja berharap mendapatkan yang terbaik.
Kurang dari dua kilometer menjelang garis finish, semangat kembali menyala setelah sempat meredup. Keyakinan untuk mendapatkan medali 300 finisher pertama kemudian semakin menambah semangat untuk segera menyelesaikan lintasan ini. Ayunan langkah semakin kupercepat begitu belokan terakhir menjelang garis akhir.
Dan akhirnya begitu menginjakkan kaki pada sensor di garis  finish bersamaan dengan dikalungkannya medali bagi 300 finisher pertama  dileherku hujanpun turun.
Dari event pertamina Makassar 10k ini saya memahami arti penting persiapan. Berlari jarak jauh tidak bias dilakukan dengan asal-asalan, butuh persiapan yang matang, latihan yang cukup dan tentu saja semangat yang pantang menyerah. Sama halnya dengan hidup, semua tak bisa didapatkan dengan instan, butuh proses dan persiapan yang memadai. Satu hal lagi manusia punya kendali dalam mendefenisikan batas diri sendiri, maka cobalah melampaui batas-batas itu dan lihatlah keajaiban yang terjadi.
 Seperti mendaki yang mengajarkan banyak hal tentang filosofi kehidupan, berlaripun ternyata memberikan banyak inspirasi tentang nilai-nilai kehidupan selain tentunya akan sangat menyehatkan jika dilakukan secara rutin. Beberapa orang mengatakan berlari itu bagaikan orang yang sedang melakukan meditasi, saat dimana kau dapat dengan leluasa berbicara dengan dirimu sendiri, kembali mereview kejadian seharian yang terlewati, mendiskusikan masalah-masalah yang tengah kau hadapi sambil mencari pemecahannya sendiri. Ya, ketika kakimu melangkah silih berganti berlari pikiranmu pun ikut berlari kemana-mana dan berharap berbagai masalah yang kau hadapi tertinggal jauh dibelakang terrbakar bersama peluh yang membasahi tubuhmu. Sebab pada saat berlari kau tak hanya membakar beberapa ratus kalori tubuhmu, lebih dari itu kau dapat membakar emosi yang berlebih-lebih yang mungkin menumpuk sepanjang hari di kepalamu.
-Mariki Berlari-

Kamis, 12 Desember 2013

Mendaki Gunung Mengajarkan

Dalam sebuah perjalanan menggunakan angkutan umum menuju pos pendakian disalah satu gunung di Jawa Tengah seorang ibu pernah bertanya kepadaku mengapa orang-orang yang ia sering temui seperti saya begitu senang mendaki gunung. Padahal menurutnya, kegiatan mendaki gunung begitu menguras tenaga bahkan terkesan menyiksa diri dengan melewati medan yang sangat berat dengan tanjakan yang terjal dan turunan yang curam. Belum lagi ditambah cuaca yang tidak menentu dan kemungkinan tersesat bahkan tidak sedikit diberitakan seorang pendaki meninggal dalam kegiatan pendakiannya.
Waktu itu sambil tersenyum saya berkata hanya ingin mencari udara segar dan melepaskan penat dari segala rutinitas harian yang terkadang membosankan. Entahlah, bagi orang awam  bersusah payah mendaki gunung untuk melepas penat terdengar begitu bodoh. Tapi bagi saya mendaki gunung mengajarkan banyak hal seperti manajemen waktu, tenaga, logistik; menghargai lingkungan; melatih kesabaran mungkin; sampai kepada hal-hal yang sedikit filosofis tentang arti kehidupan.

Puncak, hamparan awan, dan kerlip bintang diatas sana begitu menggoda setiap orang yang melakukan pendakian. Yang terkadang membuat para pendaki semakin mempercepat langkahnya untuk sampai dipuncak menyentuh awan dan memandang gemintang dari tempat yang lebih dekat lagi. Tak jarang beberapa orang bahkan mengesampingkan faktor keselamatan, tak lagi memenej tenaga dengan baik, kurang awas terhadap perubahan cuaca dan tindakan gegabah lainnya demi mencapai sebuah puncak.
Apa yang terlihat di atas sana dari bawah sangat indah, begitu mewah dan menggiurkan terkadang ketika tiba di puncak kita hanya menemukan hamparan pasir, bongkahan batu, dan cadas, dingin yang menusuk tulang dan sepi yang menyelimuti. Ternyata, yang menjadikan daerah puncak itu indah adalah ketika kita berdiri di atas sana kemudian menyapukan pandangan kesegala arah memandang ke bawah menikmati hembusan angin dari lembah dan kawah kemudian merasakan betapa kecilnya kita dihadapan segala ciptaanNya. Keindahan yang sesungguhnya dicari bukanlah daerah puncak yang lancip dan sempit itu.
Jauh lebih penting dan utama dari semua itu sebenarnya adalah proses yang kita lalui ketika melakukan perjalanan mencari keindahan dan mengejar kebahagiaan. Puncak yang akhirnya dicapai hanyalah sebuah bonus di akhir pendakian namun bukanlah sebuah akhir dari perjalanan. Karena sesaat kemudian toh kita akan kembali turun ke bawah ketempat dimana kita memulai perjalanan ini.
Seperti kehidupan yang sedang kita jalani, bagi beberapa orang mungkin ada yang terseokseok susah payah mendaki keatas. Tak menjadi masalah, jika dalam pendakian itu merasakan lelah yang teramat sangat, cobalah untuk berhenti dan beristirahat sejenak menikmati pencapaian yang sudah diraih kemudian mengevaluasi  langkah demi langkah yang sudah terlewati lalu kembali melanjutkan pendakian. 

Terkadang pula ada yang tidak sampai menyentuh daerah puncak sejati dan berdiri disana sambil memandang kebawah karena sudah tak mampu lagi mendaki. Maka jangan pernah ragu untuk berbalik arah untuk turun kebawah karena sesungguhnya puncak bagimu adalah apa yang mampu kau capai saat itu. Tak perlu dipaksakan untuk mencapai puncak sejati jika itu diluar batas kemampuanmu. Namun satu hal yang perlu diingat, berbalik arah turun ke bawah bukan berarti menyerah dan pasrah tetapi untuk kembali belajar dan berlatih lebih giat lagi untuk kembali melakukan pendakian diwaktu yang lain.

Senin, 09 Desember 2013

Anti Korupsi!



Siang tadi, jalan-jalan di kota ini kembali dipenuhi dengan mimbar-mimbar bebas elemen-elemen mahasiswa, organisasi masyarakat, dan lembaga penggiat anti korupsi. Semua satu suara mengutuki para koruptor yang menggerogoti harta Negara untuk kepentingan individu dan kelompoknya. korupsi memang menjadi penyakit yang sudah sedemikian kronis di Negeri ini.
Korupsi Menurut Fockema Andrea berasal dari bahasa latin “corruption” atau “corruptus”. Selanjutnya, disebutkan bahwa ‘corruption’ itu sendiri berasal dari kata ‘corrumpere’ yang merupakan suatu kata dari bahasa latin yang lebih tua yang berarti kerusakan atau kebobrokan.
Ya 9 Desember hari ini semua teriak ANTI KORUPSI! Namun tak lebih dari sekedar euphoria seperti tahun-tahun sebelumnya, aksi tahunan peringatan hari anti korupsi di kota ini masih saja sama. Orasi, teatrikal, cap tangan sebagai bentuk dukungan, sampai dengan aksi tutup jalan dan tentu saja tak pernah absen dari pemberitaan selalu berujung rusuh dan bentrokan. Entahlah mungkin cara kita memahami konsep berdemokrasi yang salah yang membuat kita salah dalam berekspresi, salah dalam bersikap, salah dalam mengaktualisasikan diri, salah cara dalam menyampaikan pendapat tapi ya, kota ini jika dikaitkan dengan aksi demonstrasi begitu identik dengan kata rusuh, ricuh, dan bentrokan.
Teramat kontras terasa ketika ANTI KORUPSI kemudian dengan lantang diteriakkan disegala penjuru jalan-jalan kota lalu dengan seenaknya mengekspresikan diri dengan melakukan pengrusakan terhadap aset-aset Negara, marka jalan, lampu lalu lintas dan pos-pos polisi. Ya melihat akar kata dari korupsi itu sendiri yang berarti kerusakan atau kebobrokan, lalu apa bedanya para pelaku pengrusakan pada aksi demonstrasi peringatan hari anti korupsi siang tadi dengan para Koruptor yang mereka maki dengan seribu sumpah serapah sedetik sebelumnya. Sama-sama pembuat kerusakan, sama-sama merugikan Negara, sama-sama menyengsarakan rakyat. Sejatinya yang mereka maki, yang mereka sumpah serapahi sedetik yang lalu adalah diri mereka sendiri. Tak lebih mereka sendiri adalah para koruptor yang membuat kerusakan di negeri ini.
Seorang pernah berkata, Jika apa yang akan kau sampaikan itu penting, maka cara dalam penyampaiannyapun tidak kalah penting.
Hari ini, mari kita teriak dengan lantang bahwa kita semua ANTI KORUPSI! Dengan tidak ikut-ikutan menjadi perusak di negeri ini seperti para tikus-tikus koruptor yang dengan keserakahan dan ketamakannya menggerogoti asset Negara.