Gubernur
DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kembali aktif dalam jabatannya
setelah cuti selama 3,5 bulan. Ahok cuti terkait dengan statusnya sebagai
peserta pilkada DKI 2017 sejak 28 Oktober 2016 dan berakhir pada 11 februari
2017. Dalam Undang-Undang nomor 10 Tahun 2016 disebutkan bahwa Kepala Daerah
yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama selama masa kampanye harus
menjalani cuti diluar tanggungan negara. Akan tetapi pengaktifan kembali Ahok
sebagai Gubernur DKI dipersoalkan berbagai pihak karena terkait dengan kasus
penistaan agama yang sedang menjerat dirinya. Perlu diketahui perkara penistaan
agama ini didaftarkan sejak tanggal 1 Desember 2016 di Pengadilan Negeri
Jakarta Utara dengan nomor perkara 1537/Pid.B/2016/PN JKT.UTR dan dalam surat
dakwaan jaksa penuntut umum, Ahok didakwa dengan dakwaan alternatif yaitu melanggar
Pasal 156 a huruf a KUHP dan Pasal 156 KUHP.
Yang
menjadi persoalan berdasarkan Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi ‘kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa
melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar,
tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat
memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia’, Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta
harus segera diberhentikan sementara. Dalam Pasal tersebut, kriteria
pemberhentian sementara seorang Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah
jika: 1. menjadi terdakwa dengan ancaman pidana paling singkat 5 (lima) tahun;
2. melakukan tindak pidana korupsi; 3. melakukan tindak pidana terorisme; 4. melakukan
tindak pidana makar; 4. Melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara;
dan/atau perbuatan yang dapat memecah belah NKRI.
Jika merujuk bunyi Pasal tersebut
maka seharusnya tidak alasan lagi untuk tidak menonaktifkan Ahok sebagai
Gubernur DKI Jakarta. Hal ini dikarenakan dalam salah satu dakwaan jaksa
penuntut umum, yaitu Pasal 156 a huruf a KUHP ancaman hukumannya paling lama 5
(lima) tahun.
Permasalahan berlanjut pada jenis
dakwaan yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum yang menggunakan dakwaan
alternatif pada kasus penistaan agama tersebut. Beberapa pihak menilai penggunaan dakwaan
alternatif menimbulkan ketidakpastian dalam menafsirkan Pasal 83 ayat (1)
Undang-Undang Pemerintahan Daerah tersebut, karena dalam Pasal tersebut tidak
dirinci apakah dakwaan alternatif dapat digunakan sebagai dasar pemberhentian
sementara, ditambah lagi salah satu dakwaan yaitu Pasal 156 KUHP ancaman
hukumannya paling lama 4 (empat) tahun.
Permasalahan ini terbantahkan
mengingat dalam penjelasan Pasal 83 UU Nomor 23 Tahun 2014 disebut ‘cukup jelas’
yang berarti tidak ada pembedaan jenis dakwaan yang dimaksud dalam Pasal 83
tersebut. Lagi pula dalam melakukan penafsiran norma dalam peraturan
perundang-undangan pertama kali selalu dilakukan adalah penafsiran gramatikal[1]
(tata bahasa). Dalam hal ini dakwaan yang dimaksud adalah keseluruhan jenis
dakwaan tanpa membedakan apakah dakwaan tunggal, alternatif, subsidair,
kumulatif maupun kombinasi. Sehingga meskipun jaksa penuntut umum menggunakan
dakwaan alternatif, salah satu Pasal yang didakwakan sudah memenuhi syarat
pemberhentian sementara Ahok sebagai Gubernur DKI karena memuat ancaman hukuman
paling lama 5 (lima) tahun. Bentuk dakwaan alternatif mungkin digunakan oleh
Jaksa Penuntut Umum apabila terdapat keraguan atas tindak pidana yang dilakukan
terdakwa. Namun sekali lagi Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tidak
berbicara soal berapa lama putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim setelah
pemeriksaan di sidang pengadilan akan tetapi semata-mata hanya terkait dengan
ancaman pidana yang didakwakan JPU. Apabila salah satu dakwaannya memenuhi
syarat Pasal 83 ayat (1) maka Presiden harus segera memberhentikan sementara
Ahok sebagai Gubernur DKI.
Hal lain yang masih menjadi
perdebatan dan dipermasalahkan oleh beberapa pakar adalah penggunaan frasa paling
singkat dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014. Frasa “paling
singkat” ini diperdebatkan dengan
frasa selama-lamanya atau dalam bahasa perancangan peraturan
menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan digunakan frasa “paling lama” dalam salah satu
dakwaan Jaksa Penuntut Umum Pasal 156 a huruf a. Seorang pakar hukum tata
negara mencoba menarik penafsiran kedua frasa paling singkat dan selama-lamanya
(paling lama) tersebut pada jenis kejahatan berdasarkan berat ringannya.
Menurutnya frasa paling singkat 5 (lima) tahun
dalam Pasal 83 ayat (1) berarti tindak pidana yang dimaksud disini adalah
tindak pidana berat karena minimal 5 tahun sedangkan penggunaan frasa selama-lamanya
5 (lima) tahun dalam Pasal 156 a huruf a KUHP berarti tindak pidana
tersebut merupakan tindak pidana ringan. Sehingga menurutnya syarat
pemberhentian sementara Ahok dalam Pasal 83 ayat (1) tidak terpenuhi.
Menurut saya hal tersebut merupakan
kekeliruan karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam lampiran II butir 255 dan 256
disebutkan bahwa penggunaan frasa paling singkat dan paling lama hanya
merupakan pilihan kata atau istilah untuk menyatakan pengertian maksimum dan
minimum dalam menentukan ancaman pidana atau bagi batasan waktu dan satuan
jangka waktu. Dalam konteks Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 156 a KUHP sama sekali tidak terkait
dengan jenis tindak pidana berdasarkan berat ringannya. Jadi dengan adanya frasa
paling singkat dalam Pasal 83 ayat (1) berarti Kepala daerah dan/atau
Wakil kepala daerah diberhentikan sementara apabila didakwa dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun keatas. Dan oleh karena pada kasus penistaan agama yang
menjerat Ahok salah satu Pasal dakwaannya Ia didakwa dengan tindak pidana yang ancaman
pidana maksimal 5 (lima) tahun maka sudah memenuhi syarat dilakukannya
pemberhentian sementara sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Untuk itu demi Undang-Undang
berdasarkan Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia harus segera
memberhentikan sementara Basuki Tjahaya Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta.
[1] Penafsiran gramatikal yaitu cara penafsiran berdasarkan
pada bunyi ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada arti
perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain.
Sumber Gambar: http://lbhmawarsaron.or.id/home/wp-content/uploads/2015/10/definisi-ilmu-hukum.jpg