Senin, 12 Oktober 2009

Nagari yang Terkoyak


Ku teringat sebuah syair
yang sering kurdengar belasan tahun lalu

"Kambanglah Bungo Parawitan
simambang riang di tarikan
di desa dusun Ranah Minang..."


tentang sebuah nagari, di seberang sana
nagari para saudagar
nagari para ksatria Pagaruyung
nagari berpagar aturan adat
nagari Minangkabau

Kemarin....

Nagari itu berguncang hebat,
suara gemuruh membahana,
pekikan histeris ketakutan sontak berderu deram
seiring rubuhnya berbagai bangunan...
PADANG di koyak GEMPA

Menangislah saudaraku, bila air mata masih bersisa...

MERDEKA atau MATI

Masih ku dengar seruan itu Pahlawanku
Lantang terdengar
menggema diseantero negeri ini
Membakar jiwa yang haus akan kebebasan
Saat sang imperialis bengis
Saat sang kolonial binal
Menginjak-injak bumi Persada ini
Merdeka atau Mati!!

Kembali terngiang
teriakanmu Pahlawanku..
Saat Aceh dan Papua terkoyak tangan-tangan pemberontak
Saat kulihat
para koruptor menggerogoti negeri ini
para oportunis menggadaikan negara ini
Saat kusaksikan mereka
merebut Sipadan Ligitan
menginjak-injak wilayah Ambalat
merampok ragam budaya Bangsa ini
Saat kudengar luka duka TKW
yang disiksa dan dilecehkan
Saat kurasakan Ibu Pertiwi direndahkan bangsa lain
Merdeka atau Mati!!

Hanya ada dua pilihan Pahlamanku...
Merdeka atau Mati!!

"M A H A M E R U"

Suatu Saat
Akan kulangkahkan kakiku
diantara jajaran pinus, hamparan putih kabut senja
dan beningnya air telaga di RANU PANE
Kan kususuri lembabnya hutan tropis
menembus rimbunnya pepohonan diantara
riuhnya serangga hutan

Suatu Saat
kan kuturuni hamparan hijau lembah pegunungan
di terangi percahan cahaya kecil sang surya
dan pantulan semesta
dipermukaan RANU KUMBOLO
Akan kulintasi bentangan savana bersama hembusan sang bayu
membelah padang luas menuju lebatnya hutan
laksana benteng hijau kokoh di kejauhan

Suatu saat
Akan kusebrangi lautan pasir aliran lava
diantara hujaman debu vulkanik
yang menghujam bumi
di kesunyian KALIMATI
Akan kuhabiskan waktuku bersama dinginnya malam
dan kelamnya rimba belantara
di pangkuan ARCOPODO

Suatu saat
kan kudaki curamnya tebing
merayapi labilnya dinding pasir
melawan dingin yg menusuk
Mencapai puncak tertinggi MAHAMERU

Tawamu dan Deritanya

Suatu hari saat sang surya tengah berada dipuncak kejayaannya diatas kota ini, saya mencoba menapaki sudut-sudut terjauh kota ini. berjalan tanpa arah tujuan hanya mencoba memahami kehidupan kaum terpinggirkan lewat sudut pandang derita mereka.
Setelah beberapa kilometer jalan disudut kota ini yang kulalui, saya tidak menemukan seorangpun warga kota ini yang tersenyum apalagi tertawa…Tukang becak disudut jalan, pengemis tua di emperan, penjual es diujung jalan, bocah penjual Koran di lampu merah, ibu-ibu tua di pinggir jalan sampai pada orang tua yang tengah asyik jongkok dibalik kardus ditepi kanal tak sorangpun memperlihatkan tawa mereka.
Batinku bertanya-tanya, kemana gerangan tawa-tawa lepas mereka??? Apa mereka tidak pernah mengenal kata tawa, ketawa atau tertawa??? Atau sewaktu disekolah dulu ibu bapak guru mereka lupa mengenalkan kosa kata itu pada mereka???Astagfirullah….saya lupa mereka pun tidak pernah mengenal kata sekolah apa lagi mengenyam pendidikan formal itu.

Kemudian kuteringat sebuah cerita entah dengar dimana, pernah baca tau apalah…saya lupa. Cerita ini tentang seorang pemuda yang marah kepada seluruh warga disuatu desa yang menertawakannya saat kepalanya terbentur dasar kali yang dangkal yang dikiranya dalam pada saat sang pemuda terjun kesungai tersebut. Yang membuat sang pemuda bertambah marah ketika kemudian ia bertanya kepada seluruh warga yang menertawainya itu mengapa mereka tidak memberitahunya terlebih dahulu bahwa dasar sungai itu dangkal. Sontak warga menjawab bahwa mereka sengaja tidak memberitahu sang pemuda karena sudah lama mereka tidak disuguhkan lelucon segar seperti itu.

Dari kisah diatas kadang membuat saya berpikir mungkin begitulah watak sebagian besar masyarakat negeri ini yang terkadang sering menertawakan sebagian saudara mereka yang tertimpa musibah. Betapa tidak, lagi-lagi saya pernah mendengar, konon tatkala sang jendral Srimulat berpesan kepada para pelawak-pelawaknya bahwa “penonton akan semakin tertawa bahkan akan terbahak-bahak ketika lelucon yang disuguhkan memuat unsure penindasan, pemukulan atau sesuatu yang membuat pelakonnya menderita. Itulah yang dinamakan lelucon spontan yang biasanya disertai pukulan, tamparan, tendangan khas lawakan srimulat.

Ada satu kisah lagi yang pernah saya dengar tentang seorang bocah penjual Koran yang diiming-imingi uang 50 ribuan untuk sekedar memperlihatkan tawanya kepada seorang laki-laki yang kebetulan lewat dijalan itu . wal hasil setelah sekian lama membujuk, bocah penjual koaran itu tetap bergeming dan tidak mau memperlihatkan sedikitpun tawa nya. Entah karena tidak mau atau dia memang sudah tidak dapat tertawa. Bahkan sang bocah berkata seandainya laki-laki tersebut berniat membeli semua Koran yang ia jual, dia tetap tidak akan tertawa….

Bagaimana mungkin ia sanggup tertawa setelah kegetiran yang ia rasakan selama hidupnya yang sejak dalam kandungan ia telah merasakan sari-sari derita dari sang bunda tercinta.
Yang selama hidupnya tidak pernah mengenal kata mewah, hidup enak dan sejenisnya.
Yang setiap denyut nadi dan detak jantungnya mendendangkan irama-irama kegetiran.
Yang setiap desahan nafasnya menyatru dengan aroma kemiskinan dan kesengsaraan.

Tertawa bagi mereka adalah suatu hal yang tabu untuk dilakukan. Mereka bukan sebagai subyek layaknya mereka-mereka yang sepanjang hari dapat bebas tertawa kapanpun. Mereka bukan mereka-mereka yang hanya mengenal derita lewat headline dikoran, lewat breaking news di TV lewat ucapan-ucapan turut berbela sungkawa para elit disana saat satu, dua bahkan jutaan manusia dinegeri ini yang senasib dengan bocah penjual Koran itu yang dihinggapi dan terus dibayangi penderitaan sepanjang hayatnya. Mereka hanya objek tertawaan bagi sebagian orang yang merasa tenang berada di zona kenikmatan hidup yang menjadikannya apatis terhadap kegetiran yang mereka rasakan.

Sungguh ironis melihat alur kehidupab kota ini, negeri ini, dunia ini yang diliputi keegoisan dan tidak mengenal simpati apalagi empati terhadap kaum papa yang terpinggirkan

Berbagilah tawa dengan mereka….
Minimal ajarkan mereka bagaima cara tertawa untuk menepis sedikit derita yang mereka rasakan.

Tentang Dia

Tentang dia ku bercerita

Tentang seorang wanita yang pernah hadir dalam sketsa-sketsa perjalanan hidup ini

Menyusun dan melengkapi

Setiap puzzle kehidupan ini

Member arti

Atas hadirnya sebuah rasa dihati



Tentang cinta masa silam

Yang masih menggenang

Indah, dalam relung-relung kenangan

Yang terkadang mengikuti

Jejak langkah hati ini



Tentang rasa yang mungkin masih ada

Yang kembali membayangi

Saat akhirnya kutemukan dirimu

Pada suatu malam

Disebuah site di dunia maya