Minggu, 29 Mei 2016

Perppu Kebiri yang Harus Segera Dikebiri


Meningkatnya jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak menjadi fenomena tersendiri dan menyedot perhatian masyarakat. Kasus kekerasan seksual pun semakin kompleks mulai dari faktor penyebab, pelaku hingga akibat yang ditimbulkan bagi korban. Data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat peningkatan yang cukup signifikan terhadap kejahatan seksual yang terjadi di Indonesia. Data catatan tahunan 2016 Komnas Perempuan, kekerasan seksual yang terjadi di Ranah Personal, dari jumlah kasus sebesar 321.752, maka kekerasan seksual menempati peringkat dua.
Kasus terbaru dengan korban seorang perempuan buruh pabrik di Tangerang yang berusia 18 Tahun yang ditemukan di dalam kamar kos dalam keadaan tanpa busana dengan gagang cangkul tertancap di kemaluannya. Sebelumnya terjadi kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap seorang siswi SMP di Bengkulu setelah diperkosa oleh 14 orang dan tujuh dari mereka anak dibawah umur.
Kemarin, rabu 25 Mei 2016 Presiden telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam pertimbangannya pemerintah memandang bahwa kekerasan seksual terhadap anak semakin meningkat secara signifikan yang mengancam dan membahayakan jiwa anak, merusak kehidupan pribadi dan tumbuh kembang anak, serta mengganggu rasa kenyamanan, ketenteraman, keamanan, dan ketertiban masyarakat. Pemerintah juga memandang sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak belum memberikan efek jera dan belum mampu mencegah secara komprehensif terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 ini mengubah dua pasal dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yakni Pasal 81 dan Pasal 82 serta menambah dua pasal yakni Pasal 81A dan Pasal 82A. Pada intinya Perppu ini memuat sanksi pidana dengan memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara. Perppu ini juga mengatur tiga sanksi tambahan, yakni kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik.
Terkait dengan isi Perppu Nomor 1 Tahun 2016, apakah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang boleh memuat ketentuan pidana seperti halnya Undang-Undang? Untuk menjawabnya kita harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam Pasal 7 mengenai jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang memiliki kedudukan yang sejajar/sederajat dengan Undang-Undang. Kemudian jika melihat bunyi Pasal 11 yang menyebutkan Materi Muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang. Akan tetapi dalam pasal sebelumnya yakni Pasal 10 dijelaskan materi muatan Undang-Undang berisi: pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; pengesahan perjanjian internasional tertentu; Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Artinya, materi muatan Perppu dikunci hanya memuat materi muatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
Mengenai boleh tidaknya Perppu memuat materi muatan mengenai Ketentuan Pidana, berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 disebutkan materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang; Peraturan Daerah Provinsi; atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Artinya peraturan perundang-undangan yang lain selain ketiga jenis peraturan perundang-undangan tersebut tidak boleh memuat ketentuan pidana.
Alih-alih memberikan solusi terkait penanganan kasus kejahatan seksual, pemerintah malah menerbitkan Perppu yang kontraproduktif karena memuat ketentuan pidana. Terbitnya Perppu nomor 1 Tahun 2016 justru menunjukkan sikap pemerintah yang terlalu reaktif dan terburu-buru dalam penanganan kasus kejahatan seksual yang semestinya dilakukan secara sistematis dan terencana. Penerbitan Perppu seakan-akan hanya ingin memenuhi tuntutan publik dan media tanpa mempertimbangkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Pilihan pemerintah untuk memasukkan hukuman pidana tambahan terhadap pelaku kejahatan seksual dalam Perppu terkesan hanya didasarkan pada jangka waktu pemberlakuannya yang cepat tanpa mempertimbangkan prinsip demokrasi dalam pembentukannya. Seharusnya jika melihat rumusan Pasal 15 ayat (1) diatas, untuk merumuskan ketentuan pidana yang isinya merupakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau norma perintah yang merupakan pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia harus dibahas bersama wakil rakyat dalam hal ini DPR. Hal ini pulalah yang menjadi pertimbangan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota juga dapat memuat ketentuan pidana. Karena kedua peraturan perundang-undangan tersebut juga dibahas bersama wakil rakyat dalam hal ini DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Meskipun untuk Peraturan daerah ada batasan ketentuan pidana hanya dapat memuat pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Untuk itu seharusnya ketentuan pidana tidak dapat dimuat dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang sebagaimana Perppu Nomor 1 Tahun 2016 yang memuat pidana tambahan terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak karena penyusunan dan pembahasan Perppu hanya dilakukan oleh pemerintah secara sepihak tanpa melibatkan wakil rakyat/DPR. Sehingga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak harus segera dicabut karena melanggar asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, salah satunya asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.
Langkah yang dapat kita lakukan saat ini yaitu dengan memaksimalkan hukuman yang sudah berlaku saat ini dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak atau mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Bahwa kita sepakat kasus kejahatan seksual terhadap anak semakin memprihatinkan dan karenanya bisa dikategorikan kejahatan luar biasa, bahwa pelaku kejahatan seksual harus dihukum dengan seberat-beratnya, namun penanggulangannya harus dilakukan dengan cara yang tepat, dengan pertimbangan hukum dan jenis peraturan perundang-undangan yang tepat serta memperhatikan nilai-nilai Hak Asasi Manusia.

*Sumber Gambar: http://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/aksi-kampanye-menentang-kejahatan-seksual-terhadap-perempuan-_130129122014-775.jpg