Meningkatnya jumlah kasus
kekerasan seksual terhadap anak menjadi fenomena tersendiri dan menyedot
perhatian masyarakat. Kasus kekerasan seksual pun semakin kompleks mulai dari
faktor penyebab, pelaku hingga akibat yang ditimbulkan bagi korban. Data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat peningkatan yang cukup signifikan
terhadap kejahatan seksual yang terjadi di Indonesia. Data catatan tahunan 2016
Komnas Perempuan, kekerasan seksual yang terjadi di Ranah
Personal, dari jumlah kasus sebesar 321.752, maka kekerasan seksual
menempati peringkat dua.
Kasus
terbaru dengan korban seorang perempuan buruh pabrik di Tangerang yang berusia
18 Tahun yang ditemukan di dalam kamar kos dalam keadaan tanpa busana dengan
gagang cangkul tertancap di kemaluannya. Sebelumnya terjadi kasus pemerkosaan
dan pembunuhan terhadap seorang siswi SMP di Bengkulu setelah diperkosa oleh 14
orang dan tujuh dari mereka anak dibawah umur.
Kemarin,
rabu 25 Mei 2016 Presiden telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam pertimbangannya pemerintah
memandang bahwa
kekerasan seksual terhadap anak semakin meningkat secara signifikan yang
mengancam dan membahayakan jiwa anak, merusak kehidupan pribadi dan tumbuh
kembang anak, serta mengganggu rasa kenyamanan, ketenteraman, keamanan, dan
ketertiban masyarakat. Pemerintah juga memandang sanksi pidana yang dijatuhkan
bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak belum memberikan efek jera dan
belum mampu mencegah secara komprehensif terjadinya kekerasan seksual terhadap
anak.
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 ini mengubah dua pasal dari
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yakni Pasal 81 dan
Pasal 82 serta menambah dua pasal yakni Pasal 81A dan Pasal 82A. Pada intinya Perppu
ini memuat sanksi pidana dengan memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan
seksual, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara
dan minimal 10 tahun penjara. Perppu ini juga mengatur tiga sanksi
tambahan, yakni kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan
alat deteksi elektronik.
Terkait dengan isi Perppu Nomor 1 Tahun 2016, apakah
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang boleh memuat ketentuan pidana
seperti halnya Undang-Undang? Untuk menjawabnya kita harus mengacu pada Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam Pasal 7 mengenai jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang memiliki
kedudukan yang sejajar/sederajat dengan Undang-Undang. Kemudian jika melihat
bunyi Pasal 11 yang menyebutkan Materi
Muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan
Undang-Undang. Akan tetapi dalam pasal sebelumnya yakni Pasal 10 dijelaskan
materi muatan Undang-Undang berisi: pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; perintah suatu
Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; pengesahan perjanjian
internasional tertentu; Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi;
dan/atau pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Artinya, materi muatan
Perppu dikunci hanya memuat materi muatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
Mengenai boleh tidaknya Perppu memuat materi muatan mengenai Ketentuan
Pidana, berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 disebutkan materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang;
Peraturan Daerah Provinsi; atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Artinya
peraturan perundang-undangan yang lain selain ketiga jenis peraturan
perundang-undangan tersebut tidak boleh memuat ketentuan pidana.
Alih-alih memberikan solusi terkait penanganan kasus
kejahatan seksual, pemerintah malah menerbitkan Perppu yang kontraproduktif
karena memuat ketentuan pidana. Terbitnya Perppu nomor 1 Tahun 2016 justru
menunjukkan sikap pemerintah yang terlalu reaktif dan terburu-buru dalam
penanganan kasus kejahatan seksual yang semestinya dilakukan secara sistematis
dan terencana. Penerbitan Perppu seakan-akan hanya ingin memenuhi tuntutan
publik dan media tanpa mempertimbangkan asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik.
Pilihan pemerintah untuk memasukkan hukuman pidana tambahan
terhadap pelaku kejahatan seksual dalam Perppu terkesan hanya didasarkan pada
jangka waktu pemberlakuannya yang cepat tanpa mempertimbangkan prinsip
demokrasi dalam pembentukannya. Seharusnya jika melihat rumusan Pasal 15 ayat
(1) diatas, untuk merumuskan ketentuan pidana yang isinya merupakan penjatuhan pidana atas
pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau norma perintah
yang merupakan pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia harus dibahas bersama wakil
rakyat dalam hal ini DPR. Hal ini pulalah yang menjadi pertimbangan Peraturan
Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota juga dapat memuat ketentuan
pidana. Karena kedua peraturan perundang-undangan tersebut juga dibahas bersama
wakil rakyat dalam hal ini DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Meskipun
untuk Peraturan daerah ada batasan ketentuan pidana hanya dapat memuat pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak
Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Untuk itu seharusnya ketentuan pidana tidak dapat
dimuat dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang sebagaimana Perppu
Nomor 1 Tahun 2016 yang memuat pidana tambahan terhadap pelaku kejahatan
seksual terhadap anak-anak karena penyusunan dan pembahasan Perppu hanya
dilakukan oleh pemerintah secara sepihak tanpa melibatkan wakil rakyat/DPR. Sehingga Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak harus segera
dicabut karena melanggar asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik, salah satunya asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan
bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan.
Langkah yang dapat kita lakukan saat ini yaitu dengan memaksimalkan hukuman
yang sudah berlaku saat ini dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan anak atau mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Seksual.
Bahwa kita sepakat kasus kejahatan seksual terhadap anak
semakin memprihatinkan dan karenanya bisa dikategorikan kejahatan luar biasa,
bahwa pelaku kejahatan seksual harus dihukum dengan seberat-beratnya, namun
penanggulangannya harus dilakukan dengan cara yang tepat, dengan pertimbangan
hukum dan jenis peraturan perundang-undangan yang tepat serta memperhatikan
nilai-nilai Hak Asasi Manusia.
*Sumber Gambar: http://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/aksi-kampanye-menentang-kejahatan-seksual-terhadap-perempuan-_130129122014-775.jpg