Minggu, 29 Desember 2013

Run..Run..Run



……
Ready ready ready, ready to run
all I'm ready to do is have some fun
What's all this talk about love?
I'm ready to run?
I'm ready, oh, I'm ready to run, I'm ready to run?


Beberapa jam sebelum event lomba lari 10k yang diadakan oleh Pertamina Makassar dimulai, potongan potongan lagu Ready to Run itu terus terngiang-ngiang ditelingaku dengan tanda Tanya di akhir setiap baitnya. Wajar saja dengan latihan dan persiapan seadanya yang sering terganggu dengan hujan yang akhir-akhir ini sering turun dipenghujung sore di kota Makassar cukup membuat saya sedikit ragu apa saya mampu menyentuh garis finish. Dari sekitar delapan kali latihan lari, jarak yang sanggup saya tempuh tak pernah lebih dari 6 kilometer.
Dan yap, sekitar pukul 05.15 wita saya telah berdiri di belakang garis start bersama ribuan pelari dengan berbagai latar belakang profesi. Terselip diantara pelari kasta terbawah yang hanya menjadikan lari sebagai pengisi waktu dan pembakar lemak di pagi dan sore hari sampai Prajurit TNI dan Polri, atlit nasional, dan pelari tingkat dewa sekelas pelari Kenya yang tak pernah absen dalam setiap event lari tentunya. Walaupun Ini event lari kedua saya setelah mengikuti Kalla Run 1 Desember lalu namun ini event lari pertama saya pada kelas 10 kilometer. Kalau dalam novel “5 cm” ada beberapa kata-kata sakti penyemangat Genta dan kawan-kawannya mendaki ke mahameru maka dengan sedikit modifikasi dan menjiplak kata-kata itu maka dalam event lari ini keyakinanku tergantung sedikit lebih jauh 10 kilometer kedepan sampai ke garis finish. Dan yang saya perlukan cuma kaki yang berlari lebih jauh dari biasanya, mata yang akan menatap kedepan lebih jauh dari biasanya, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, dan jantung yang akan memompa lebih cepat dari biasanya. Serta mulut yang akan selalu berdoa semoga saya tak pingsan di tengah lintasan ini. Semoga..
Dan tepat pukul 05.30 wita seluruh peserta berhamburan kedepan, melesat meninggalkan garis start. Satu hal dalam lari jarak jauh sebenarnya kita tak hanya berkompetisi dengan para pelari lainnya untuk lebih dulu mencapai garis finish. Lebih dari itu bagaimana kita mampu mengendalikan emosi dan pikiran mengatur ritme langkah dan nafas untuk tetap bertahan sampai lintasan ini berakhir. Sepuluh sampai lima belas menit pertama  berlari adalah saat yang sangat penting untuk tetap mengatur irama langkah dan menahan diri agar tidak terprovokasi dengan irama langkah pelari lain yang mendahului. Seperti dalam kehidupan katanya konsistensi sangat diperlukan dalam menciptakan kebiasaan untuk mencapai tujuan-tujuan hidup. Maka apapun yang ingin kita capai maka buatlah tujuan itu menjadi bagian dari kehidupanmu.
Memasuki kilometer ke tiga, beberapa pelari didepanku mulai memperlambat langkahnya. Sempat terlintas menambah kecepatan untuk mendahului namun sekali lagi tetap konsisten mengatur nafas jauh lebih utama. Dalam event lari kali ini, pihak penyelenggara menyediakan water station setiap 3 kilometer untuk para pelari yang ingin minum mengganti cairan tubuh yang hilang. Air isotonic dan teriakan semangat yang diberikan penyelenggara di water station ini cukup membantu para pelari. Ya, saat mengikuti event lomba lari seperti ini seseorang tidak benar-benar berlari sendirian. Beberapa orang baik yang berada di lintasan atau diluar lintasan punya peran dalam membangkitkan semangat kita. Seperti dalam hidup kita tidak mungkin dapat hidup sendiri selalu ada orang-orang seperti keluarga, teman dan sahabat yang selalu mengingatkan dan menjadi penyemangat untuk tetap kuat menjalaninya.
Sampai pada kilometer ke tujuh, adalah saat-saat dimana tenaga di dalam tubuh sudah hampir habis, kepala terasa ringan, penglihatan berkunang-kunang dan kecepatan langkah berkurang drastis. Ditambah beberapa pelari yang kemudian mendahului turut menekan mental saya yang semakin terpuruk. Ya, mungkin karena waktu latihan yang kurang atau pengaruh begadang semalam. Kilometer tujuh sampai delapan adalah saat-saat sulit bagi saya saat itu.  Sempat terpikir untuk menyerah dan berhenti ditengah-tengah lintasan seperti beberapa pelari lainnya yang kehabisan tenaga namun kembali beberapa lagu dalam playlist yang kuputar saat itu mengalun ikut memompa semangatku. Berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa keyakinan yang kugantung 10 kilometer dari garis finish tadi, kurang dari 3 kilometer lagi.
Dalam hidup, kebanyakan orang ketika menghadapi kesulitan mereka lantas menyerah, putus asa dan kemudian berhenti. Kata beberapa motivator orang-orang yang benar-benar sukses adalah mereka yang tidak mudah putus asa dan ketika hal-hal menjadi sulit mereka hanya terus maju kedepan. Karena kekuatan seseorang, kata mereka berasal dari dalam kepala kita masing-masing. Ya, saat itu saya sepakat dengan mereka, ini tentang bagaimana memutuskan untuk melanjutkan terus berlari menyelesaikan apa yang sudah dimulai dan tentu saja berharap mendapatkan yang terbaik.
Kurang dari dua kilometer menjelang garis finish, semangat kembali menyala setelah sempat meredup. Keyakinan untuk mendapatkan medali 300 finisher pertama kemudian semakin menambah semangat untuk segera menyelesaikan lintasan ini. Ayunan langkah semakin kupercepat begitu belokan terakhir menjelang garis akhir.
Dan akhirnya begitu menginjakkan kaki pada sensor di garis  finish bersamaan dengan dikalungkannya medali bagi 300 finisher pertama  dileherku hujanpun turun.
Dari event pertamina Makassar 10k ini saya memahami arti penting persiapan. Berlari jarak jauh tidak bias dilakukan dengan asal-asalan, butuh persiapan yang matang, latihan yang cukup dan tentu saja semangat yang pantang menyerah. Sama halnya dengan hidup, semua tak bisa didapatkan dengan instan, butuh proses dan persiapan yang memadai. Satu hal lagi manusia punya kendali dalam mendefenisikan batas diri sendiri, maka cobalah melampaui batas-batas itu dan lihatlah keajaiban yang terjadi.
 Seperti mendaki yang mengajarkan banyak hal tentang filosofi kehidupan, berlaripun ternyata memberikan banyak inspirasi tentang nilai-nilai kehidupan selain tentunya akan sangat menyehatkan jika dilakukan secara rutin. Beberapa orang mengatakan berlari itu bagaikan orang yang sedang melakukan meditasi, saat dimana kau dapat dengan leluasa berbicara dengan dirimu sendiri, kembali mereview kejadian seharian yang terlewati, mendiskusikan masalah-masalah yang tengah kau hadapi sambil mencari pemecahannya sendiri. Ya, ketika kakimu melangkah silih berganti berlari pikiranmu pun ikut berlari kemana-mana dan berharap berbagai masalah yang kau hadapi tertinggal jauh dibelakang terrbakar bersama peluh yang membasahi tubuhmu. Sebab pada saat berlari kau tak hanya membakar beberapa ratus kalori tubuhmu, lebih dari itu kau dapat membakar emosi yang berlebih-lebih yang mungkin menumpuk sepanjang hari di kepalamu.
-Mariki Berlari-

Kamis, 12 Desember 2013

Mendaki Gunung Mengajarkan

Dalam sebuah perjalanan menggunakan angkutan umum menuju pos pendakian disalah satu gunung di Jawa Tengah seorang ibu pernah bertanya kepadaku mengapa orang-orang yang ia sering temui seperti saya begitu senang mendaki gunung. Padahal menurutnya, kegiatan mendaki gunung begitu menguras tenaga bahkan terkesan menyiksa diri dengan melewati medan yang sangat berat dengan tanjakan yang terjal dan turunan yang curam. Belum lagi ditambah cuaca yang tidak menentu dan kemungkinan tersesat bahkan tidak sedikit diberitakan seorang pendaki meninggal dalam kegiatan pendakiannya.
Waktu itu sambil tersenyum saya berkata hanya ingin mencari udara segar dan melepaskan penat dari segala rutinitas harian yang terkadang membosankan. Entahlah, bagi orang awam  bersusah payah mendaki gunung untuk melepas penat terdengar begitu bodoh. Tapi bagi saya mendaki gunung mengajarkan banyak hal seperti manajemen waktu, tenaga, logistik; menghargai lingkungan; melatih kesabaran mungkin; sampai kepada hal-hal yang sedikit filosofis tentang arti kehidupan.

Puncak, hamparan awan, dan kerlip bintang diatas sana begitu menggoda setiap orang yang melakukan pendakian. Yang terkadang membuat para pendaki semakin mempercepat langkahnya untuk sampai dipuncak menyentuh awan dan memandang gemintang dari tempat yang lebih dekat lagi. Tak jarang beberapa orang bahkan mengesampingkan faktor keselamatan, tak lagi memenej tenaga dengan baik, kurang awas terhadap perubahan cuaca dan tindakan gegabah lainnya demi mencapai sebuah puncak.
Apa yang terlihat di atas sana dari bawah sangat indah, begitu mewah dan menggiurkan terkadang ketika tiba di puncak kita hanya menemukan hamparan pasir, bongkahan batu, dan cadas, dingin yang menusuk tulang dan sepi yang menyelimuti. Ternyata, yang menjadikan daerah puncak itu indah adalah ketika kita berdiri di atas sana kemudian menyapukan pandangan kesegala arah memandang ke bawah menikmati hembusan angin dari lembah dan kawah kemudian merasakan betapa kecilnya kita dihadapan segala ciptaanNya. Keindahan yang sesungguhnya dicari bukanlah daerah puncak yang lancip dan sempit itu.
Jauh lebih penting dan utama dari semua itu sebenarnya adalah proses yang kita lalui ketika melakukan perjalanan mencari keindahan dan mengejar kebahagiaan. Puncak yang akhirnya dicapai hanyalah sebuah bonus di akhir pendakian namun bukanlah sebuah akhir dari perjalanan. Karena sesaat kemudian toh kita akan kembali turun ke bawah ketempat dimana kita memulai perjalanan ini.
Seperti kehidupan yang sedang kita jalani, bagi beberapa orang mungkin ada yang terseokseok susah payah mendaki keatas. Tak menjadi masalah, jika dalam pendakian itu merasakan lelah yang teramat sangat, cobalah untuk berhenti dan beristirahat sejenak menikmati pencapaian yang sudah diraih kemudian mengevaluasi  langkah demi langkah yang sudah terlewati lalu kembali melanjutkan pendakian. 

Terkadang pula ada yang tidak sampai menyentuh daerah puncak sejati dan berdiri disana sambil memandang kebawah karena sudah tak mampu lagi mendaki. Maka jangan pernah ragu untuk berbalik arah untuk turun kebawah karena sesungguhnya puncak bagimu adalah apa yang mampu kau capai saat itu. Tak perlu dipaksakan untuk mencapai puncak sejati jika itu diluar batas kemampuanmu. Namun satu hal yang perlu diingat, berbalik arah turun ke bawah bukan berarti menyerah dan pasrah tetapi untuk kembali belajar dan berlatih lebih giat lagi untuk kembali melakukan pendakian diwaktu yang lain.

Senin, 09 Desember 2013

Anti Korupsi!



Siang tadi, jalan-jalan di kota ini kembali dipenuhi dengan mimbar-mimbar bebas elemen-elemen mahasiswa, organisasi masyarakat, dan lembaga penggiat anti korupsi. Semua satu suara mengutuki para koruptor yang menggerogoti harta Negara untuk kepentingan individu dan kelompoknya. korupsi memang menjadi penyakit yang sudah sedemikian kronis di Negeri ini.
Korupsi Menurut Fockema Andrea berasal dari bahasa latin “corruption” atau “corruptus”. Selanjutnya, disebutkan bahwa ‘corruption’ itu sendiri berasal dari kata ‘corrumpere’ yang merupakan suatu kata dari bahasa latin yang lebih tua yang berarti kerusakan atau kebobrokan.
Ya 9 Desember hari ini semua teriak ANTI KORUPSI! Namun tak lebih dari sekedar euphoria seperti tahun-tahun sebelumnya, aksi tahunan peringatan hari anti korupsi di kota ini masih saja sama. Orasi, teatrikal, cap tangan sebagai bentuk dukungan, sampai dengan aksi tutup jalan dan tentu saja tak pernah absen dari pemberitaan selalu berujung rusuh dan bentrokan. Entahlah mungkin cara kita memahami konsep berdemokrasi yang salah yang membuat kita salah dalam berekspresi, salah dalam bersikap, salah dalam mengaktualisasikan diri, salah cara dalam menyampaikan pendapat tapi ya, kota ini jika dikaitkan dengan aksi demonstrasi begitu identik dengan kata rusuh, ricuh, dan bentrokan.
Teramat kontras terasa ketika ANTI KORUPSI kemudian dengan lantang diteriakkan disegala penjuru jalan-jalan kota lalu dengan seenaknya mengekspresikan diri dengan melakukan pengrusakan terhadap aset-aset Negara, marka jalan, lampu lalu lintas dan pos-pos polisi. Ya melihat akar kata dari korupsi itu sendiri yang berarti kerusakan atau kebobrokan, lalu apa bedanya para pelaku pengrusakan pada aksi demonstrasi peringatan hari anti korupsi siang tadi dengan para Koruptor yang mereka maki dengan seribu sumpah serapah sedetik sebelumnya. Sama-sama pembuat kerusakan, sama-sama merugikan Negara, sama-sama menyengsarakan rakyat. Sejatinya yang mereka maki, yang mereka sumpah serapahi sedetik yang lalu adalah diri mereka sendiri. Tak lebih mereka sendiri adalah para koruptor yang membuat kerusakan di negeri ini.
Seorang pernah berkata, Jika apa yang akan kau sampaikan itu penting, maka cara dalam penyampaiannyapun tidak kalah penting.
Hari ini, mari kita teriak dengan lantang bahwa kita semua ANTI KORUPSI! Dengan tidak ikut-ikutan menjadi perusak di negeri ini seperti para tikus-tikus koruptor yang dengan keserakahan dan ketamakannya menggerogoti asset Negara.



Selasa, 13 Agustus 2013

Menua dan/atau Mendewasa

"Selamat Ulang Tahun, selamat menua semoga mendewasa" begitu bunyi pesan singkat yang masuk kemarin di ponsel ku. Sapaan dari beberapa teman dan sahabat pun kurang lebih bernada sama seperti itu. Ya, bertambahnya usia seseorang menimbulkan berbagai akibat dan konsekuensi juga harapan dan doa yang menyertainya. Menua - Mendewasa salah duanya. Ketika bertambahnya usia lambat laun perubahan fisik akan mulai tampak dari yang semula bayi, anak-anak, remaja sampai kemudian menjadi tua. Perubahan fisik itu kita sebut saja -menua-.

Namun apa yang terjadi dengan sikap dan pemikiranmu ketika usiamu bertambah apakah ada perubahan? Orang menyebutnya -mendewasa-. ketika katanya dengan bertambahnya usia orang akan semakin matang dalam berpikir, semakin bijak dalam bertutur, semakin terencana dalam bertindak, dan seabrek sikap-sikap ideal yang katanya wajib dimiliki oleh orang yang telah mendewasa.

Apa benar seperti itu?

Entah kenapa saya lebih memilih -menua- ketimbang -mendewasa-. Mendewasa terkesan begitu rumit, sangat rumit bahkan, serumit pemikiran orang yang katanya telah mendewasa yang harus bersusah payah hanya untuk memikirkan motif apa yang ada dibalik tindakan atau perkataan orang lain; atau menguras pikiran mereka-reka dan dengan lancangnya merasa tau dan menghakimi apa yang ada dibenak orang lain.
Berbeda halnya dengan anak kecil yang pemikirannya jauh lebih sederhana, yang hanya melihat dunia yang bulat ini dengan sejuta permasalahannya sebagai permukaan datar yang hanya mengenal atas dan bawah, atau kiri dan kanan. Atau sesederhana membedakan hitam dan putih tanpa mengenal wilayah abu-abu.

Ya, jika saja boleh memilih maka -menua- dan berpola pikir sesederhana anak kecil lebih kupilih ketimbang -mendewasa- tetapi harus menjadi picik selicik para politikus atau menjadi manusia yang -mendewasa- yang seperti kata Hobbes menjadi serigala bagi manusia lainnya.

Senin, 21 Januari 2013

Pukul 01.30


Pukul 01.30
dan aku masih mengingatmu
dengan jilbab biru yang kau pakai hari itu.
Ya,
Rasa memang tak dapat diceritakan,
harus ditelan sendiri...

Batas



Lihat,
itu tembok yang kalian bangun
Sebagai garis batas
yang mengungkung dan membedakan
Aku dan kau, kami dan kalian, kita dan mereka.
Dan lihat setelahnya
Orang-orang akan ribut saling klaim
Mengkalim ini surga milik kami
dan itu neraka bagian kalian
Aku lah kebenaran dan kau sesat tersesat
Kita pengikut ajaran RasulNya
sedang mereka golongan yang ingkar.

Saling bantah dalam kegelapan
Apa yang kita temukan?
Hanya Tuhan yang terbagi-bagi,
Surga yang terkapling-kapling,
Dan agama yang terpecah-pecah…


Tuhan itu Satu
Yang melampaui segala dan selalu ada
Semoga surganya pun luas,
seluas ampunan dan kebijaksanaanNya
untuk menampung kita semua didalamnya...


Kita Berbeda?

Kita menyebutnya-Nya dengan nama yang beda, katamu
maka kita berbeda.
Kita berdoa pada satu sosok yang berlainan, katamu
jadi kita tak sama.
Kita menyembah pada satu dzat
yang kita panggil dengan beragam bahasa
untuk itu, kita tak sejalan.
Kau terlahir sebagai Nasrani, Aku beragama Islam
dia Budha, mereka Yahudi
kita beda agama, katamu
oleh karena itu, kita beda golongan.
---------
sudahlah, kita akhiri saja
Tuhan itu satu, namun kita yang berbeda.

Selasa, 01 Januari 2013

-Demi Masa-



Tentang waktu,
yang terus berputar
berganti.
detik, jam, hari dan tahun
dari masa ke masa.

dan ingatkah
Bagaimana DIA bertitah
bersumpah --
      -Demi Masa-
      -Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian-
      -Kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh,
       saling nasehat menasehati supaya dalam kebenaran
       dan nasehat menasehati dalam kesabaran--
---------------------------------------------------