Selasa, 13 Agustus 2013

Menua dan/atau Mendewasa

"Selamat Ulang Tahun, selamat menua semoga mendewasa" begitu bunyi pesan singkat yang masuk kemarin di ponsel ku. Sapaan dari beberapa teman dan sahabat pun kurang lebih bernada sama seperti itu. Ya, bertambahnya usia seseorang menimbulkan berbagai akibat dan konsekuensi juga harapan dan doa yang menyertainya. Menua - Mendewasa salah duanya. Ketika bertambahnya usia lambat laun perubahan fisik akan mulai tampak dari yang semula bayi, anak-anak, remaja sampai kemudian menjadi tua. Perubahan fisik itu kita sebut saja -menua-.

Namun apa yang terjadi dengan sikap dan pemikiranmu ketika usiamu bertambah apakah ada perubahan? Orang menyebutnya -mendewasa-. ketika katanya dengan bertambahnya usia orang akan semakin matang dalam berpikir, semakin bijak dalam bertutur, semakin terencana dalam bertindak, dan seabrek sikap-sikap ideal yang katanya wajib dimiliki oleh orang yang telah mendewasa.

Apa benar seperti itu?

Entah kenapa saya lebih memilih -menua- ketimbang -mendewasa-. Mendewasa terkesan begitu rumit, sangat rumit bahkan, serumit pemikiran orang yang katanya telah mendewasa yang harus bersusah payah hanya untuk memikirkan motif apa yang ada dibalik tindakan atau perkataan orang lain; atau menguras pikiran mereka-reka dan dengan lancangnya merasa tau dan menghakimi apa yang ada dibenak orang lain.
Berbeda halnya dengan anak kecil yang pemikirannya jauh lebih sederhana, yang hanya melihat dunia yang bulat ini dengan sejuta permasalahannya sebagai permukaan datar yang hanya mengenal atas dan bawah, atau kiri dan kanan. Atau sesederhana membedakan hitam dan putih tanpa mengenal wilayah abu-abu.

Ya, jika saja boleh memilih maka -menua- dan berpola pikir sesederhana anak kecil lebih kupilih ketimbang -mendewasa- tetapi harus menjadi picik selicik para politikus atau menjadi manusia yang -mendewasa- yang seperti kata Hobbes menjadi serigala bagi manusia lainnya.