Senin, 12 Oktober 2009

Tawamu dan Deritanya

Suatu hari saat sang surya tengah berada dipuncak kejayaannya diatas kota ini, saya mencoba menapaki sudut-sudut terjauh kota ini. berjalan tanpa arah tujuan hanya mencoba memahami kehidupan kaum terpinggirkan lewat sudut pandang derita mereka.
Setelah beberapa kilometer jalan disudut kota ini yang kulalui, saya tidak menemukan seorangpun warga kota ini yang tersenyum apalagi tertawa…Tukang becak disudut jalan, pengemis tua di emperan, penjual es diujung jalan, bocah penjual Koran di lampu merah, ibu-ibu tua di pinggir jalan sampai pada orang tua yang tengah asyik jongkok dibalik kardus ditepi kanal tak sorangpun memperlihatkan tawa mereka.
Batinku bertanya-tanya, kemana gerangan tawa-tawa lepas mereka??? Apa mereka tidak pernah mengenal kata tawa, ketawa atau tertawa??? Atau sewaktu disekolah dulu ibu bapak guru mereka lupa mengenalkan kosa kata itu pada mereka???Astagfirullah….saya lupa mereka pun tidak pernah mengenal kata sekolah apa lagi mengenyam pendidikan formal itu.

Kemudian kuteringat sebuah cerita entah dengar dimana, pernah baca tau apalah…saya lupa. Cerita ini tentang seorang pemuda yang marah kepada seluruh warga disuatu desa yang menertawakannya saat kepalanya terbentur dasar kali yang dangkal yang dikiranya dalam pada saat sang pemuda terjun kesungai tersebut. Yang membuat sang pemuda bertambah marah ketika kemudian ia bertanya kepada seluruh warga yang menertawainya itu mengapa mereka tidak memberitahunya terlebih dahulu bahwa dasar sungai itu dangkal. Sontak warga menjawab bahwa mereka sengaja tidak memberitahu sang pemuda karena sudah lama mereka tidak disuguhkan lelucon segar seperti itu.

Dari kisah diatas kadang membuat saya berpikir mungkin begitulah watak sebagian besar masyarakat negeri ini yang terkadang sering menertawakan sebagian saudara mereka yang tertimpa musibah. Betapa tidak, lagi-lagi saya pernah mendengar, konon tatkala sang jendral Srimulat berpesan kepada para pelawak-pelawaknya bahwa “penonton akan semakin tertawa bahkan akan terbahak-bahak ketika lelucon yang disuguhkan memuat unsure penindasan, pemukulan atau sesuatu yang membuat pelakonnya menderita. Itulah yang dinamakan lelucon spontan yang biasanya disertai pukulan, tamparan, tendangan khas lawakan srimulat.

Ada satu kisah lagi yang pernah saya dengar tentang seorang bocah penjual Koran yang diiming-imingi uang 50 ribuan untuk sekedar memperlihatkan tawanya kepada seorang laki-laki yang kebetulan lewat dijalan itu . wal hasil setelah sekian lama membujuk, bocah penjual koaran itu tetap bergeming dan tidak mau memperlihatkan sedikitpun tawa nya. Entah karena tidak mau atau dia memang sudah tidak dapat tertawa. Bahkan sang bocah berkata seandainya laki-laki tersebut berniat membeli semua Koran yang ia jual, dia tetap tidak akan tertawa….

Bagaimana mungkin ia sanggup tertawa setelah kegetiran yang ia rasakan selama hidupnya yang sejak dalam kandungan ia telah merasakan sari-sari derita dari sang bunda tercinta.
Yang selama hidupnya tidak pernah mengenal kata mewah, hidup enak dan sejenisnya.
Yang setiap denyut nadi dan detak jantungnya mendendangkan irama-irama kegetiran.
Yang setiap desahan nafasnya menyatru dengan aroma kemiskinan dan kesengsaraan.

Tertawa bagi mereka adalah suatu hal yang tabu untuk dilakukan. Mereka bukan sebagai subyek layaknya mereka-mereka yang sepanjang hari dapat bebas tertawa kapanpun. Mereka bukan mereka-mereka yang hanya mengenal derita lewat headline dikoran, lewat breaking news di TV lewat ucapan-ucapan turut berbela sungkawa para elit disana saat satu, dua bahkan jutaan manusia dinegeri ini yang senasib dengan bocah penjual Koran itu yang dihinggapi dan terus dibayangi penderitaan sepanjang hayatnya. Mereka hanya objek tertawaan bagi sebagian orang yang merasa tenang berada di zona kenikmatan hidup yang menjadikannya apatis terhadap kegetiran yang mereka rasakan.

Sungguh ironis melihat alur kehidupab kota ini, negeri ini, dunia ini yang diliputi keegoisan dan tidak mengenal simpati apalagi empati terhadap kaum papa yang terpinggirkan

Berbagilah tawa dengan mereka….
Minimal ajarkan mereka bagaima cara tertawa untuk menepis sedikit derita yang mereka rasakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jangan cuman diliat ya.....satu dua kata cukup lahh....biar jadi motifasi tuk nulisx.